Sosok Kuntilanak dalam mitologi Nusantara tidak pernah lepas dari citra Pohon Besar yang rimbun dan tandan pisang. Keterkaitan ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari akulturasi budaya, kearifan lokal, dan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan. Mitos ini berfungsi sebagai alat kontrol sosial dan peringatan agar masyarakat berhati-hati, terutama saat berada di tempat yang dianggap angker dan sepi di malam hari.
Secara tradisional, dan rindang, seperti pohon kapuk atau beringin, dianggap sebagai tempat tinggal ideal bagi makhluk halus. Struktur pohon yang tua dan berongga memberikan kesan misterius dan tersembunyi. Tempat-tempat seperti ini seringkali minim cahaya, mendukung persepsi horor dan rasa takut. Kepercayaan ini secara tidak langsung menjaga kelestarian pohon-pohon tua di lingkungan masyarakat.
Pohon pisang juga memiliki keterkaitan kuat. Dalam kepercayaan Jawa dan Melayu, pohon pisang dianggap sebagai tanaman yang disukai Kuntilanak, bahkan diyakini menjadi tempat persembunyiannya. Aura magis pohon pisang, ditambah dengan daunnya yang lebar dan mudah bergerak tertiup angin malam, menciptakan ilusi visual yang menyeramkan di mata orang yang melewatinya.
Ada pula penjelasan rasional di balik keterkaitan ini. Pohon besar yang tumbuh di dekat pemukiman, terutama di lokasi yang gelap, memang cenderung menjadi tempat berbahaya. Di masa lalu, pohon seperti ini sering menjadi lokasi rawan kejahatan atau tempat jatuhnya dahan tua. Mitos ini lantas digunakan untuk melarang warga, khususnya anak-anak, berkeliaran di area tersebut saat malam hari.
Selain aspek visual dan lingkungan, Kuntilanak juga sering dikaitkan dengan bau melati atau, ironisnya, bau busuk. Kombinasi antara tempat gelap di bawah dan aroma khas adalah formula sempurna dalam mitos yang membangun sensasi horor. Pengalaman sensorik ini menguatkan cerita rakyat dan menjadikannya lebih meyakinkan bagi yang mendengarnya.
Para budayawan melihat mitos ini sebagai representasi ketakutan masyarakat terhadap alam liar dan kegelapan yang tak terkontrol. Dengan menempatkan hantu pada objek fisik yang nyata (pohon), masyarakat memiliki pemetaan mental terhadap wilayah yang harus dihindari. Ini adalah bentuk kearifan lokal dalam memitigasi bahaya tanpa perlu penjelasan ilmiah.
Kisah Kuntilanak, pohon besar, dan pisang terus diwariskan dari generasi ke generasi, diperkuat melalui film horor dan literatur. Pengulangan ini menjadikan ikonografi tersebut melekat erat dalam budaya populer. Transformasi ini membuktikan betapa efektifnya mitos dalam membentuk kesadaran kolektif tentang batasan dan bahaya.
Pada akhirnya, meskipun sosok Kuntilanak adalah fiksi, dampak sosial dan budayanya nyata. Mitos ini mengajarkan kita tentang bagaimana masyarakat merespons rasa takut terhadap lingkungan tak terjamah. dan pohon pisang akan selamanya menjadi latar ikonik bagi salah satu hantu paling terkenal di Asia Tenggara.